Home | Artikel

Transformasi Pendidikan Mulai Menggeliat, tapi Belum Optimal


Diposting pada tanggal 6 November 2021

Selama masa pandemi Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ristek dan Teknologi (Kemendikbud) bekerja ekstra keras melalui sejumlah terobosan agar roda kegiatan Pendidikan terus begulir secara baik dan berkualitas.

Ketika pandemi merebak Kemendikbud merespons dengan mengucurkan Dana BOS Afirmasi dan BOS Kinerja, serta memberikan bantuan subsidi upah kepada 1.634.832 PTK PAUD, Pendidikan Dasar dan Penidikan Menengah, 374,836 PTK Pendidikan Tinggi, dan 48.000 pelaku budaya dan seni.

Selanjutnya, berdasarkan basis data portal Rumah Belajar, total pengguna baru Rumah Belajar pada tahun 2020 sebanyak 7,79 juta dengan pengunjung portal Rumah Belajar sebanyak 105,532 juta.

Upaya transformatif

Memasuki tahun 2021, Kemendibud menghadirkan transformasi pendidikan melalui empat strategi.

Pertama, pembangunan infrastruktur dan teknologi. Kedua, penguatan kebijakan, prosedur, dan pendanaan. Ketiga, penguatan kepemimpinan, masyarakat, dan kebudayaan.

Keempat, penguatan kurikulum, pedagogi, dan asesmen. Keempat strategi tersebut dijalankan melalui delapan program prioritas yang dikaitkan dengan konsep Merdeka Belajar.

Pada bidang, pembiayaan pendidikan, Kemendikbud menerbitkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dengan target 1,095 juta mahasiswa, KIP Sekolah dengan target 17,9 juta siswa, layanan khusus pendidikan masyarakat dan kebencanaan dengan target 42.896 sekolah, tunjangan profesi guru dengan target 363 ribu guru, dan pembinaan Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN), dan bantuan pemerintah kepada 13 SILN dan 2.236 lembaga.

Untuk program digitalisasi sekolah dan medium pembelajaran, Kemendikbud megembangkan empat sistem penguatan platform digital, delapan layanan terpadu Kemendikbud, kehumasan dan media, 345 model bahan ajar dan model media pendidikan digital, serta penyediaan sarana pendidikan bagi 16.844 sekolah.

Di bidang pembinaan peserta didik, prestasi, talenta, dan penguatan karakter, Kemendikbud menciptakan tiga layanan pendampingan advokasi dan sosialisasi penguatan karakter, pembinaan peserta didik oleh 345 pemerintah daerah, serta peningkatan prestasi dan manajemen talenta kepada 13.505 pelajar.

Di bidang SDM, Kemendikbud meloloskan 173.329 guru honorer menjadi ASN, mendidik 19.624 guru penggerak, menyertifikasi 10.000 guru dan tenaga kependidikan, merekrut guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di 548 pemerintah daerah, mengembangkan sistem penjaminan mutu, dan memperkenalkan manajemen Sekolah Penggerak kepada 20.438 orang guru.

Kemendikbud juga melakukan peningkatan kurikulum dan asesmen nasional serta melakukan pelatihan kurikulum baru kepada 62.948 guru dan tenaga kependidikan, pendampingan dan sosialisasi implementasi kurikulum dan asesmen di 428.957 sekolah, mengembangkan 4.515 model kurikulum dan perbukuan, dan akreditasi dan standar nasional pendidikan di 94.912 lembaga.

Dalam revitalisasi pendidikan vokasi, Kemendikbud akan merevitalisasi 900 SMK yang berbasis industri 4.0, mengembangkan percepatan link and match dan kemitraan dengan 5.690 orang dan 250 dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Berkenaan dengan Kampus Merdeka, Kemendikbud mendukung pencapaian indeks kinerja utama (IKU) bagi 75 PTN (BOPTN), competitive fund dan matching fun bagi PTN dan PTS, pengembangan kualitas SDM, peningkatan kualitas pembelajaran dan kemahasiswaan sehingga tercipta 50 ribu mahasiswa berwirausaha 400 ribu mahasiswa Kampus Merdeka, 660 program studi terkait inovasi pembelajaran digital, serta pengembangan kelembagaan perguruan tinggi.

Kemendikbud juga mengelola setidaknya 11 sumber belajar yaitu portal bersama hadapi korona, rumah belajar, tv edukasi, pembelajaran digital oleh Pusdatin dan SEAMOLEC, guru berbagi, LMS Siajar, aplikasi daring untuk paket A, B, C, membaca digital, suara edukasi, tatap muka daring melalui program SAPA DRB, dan program belajar dari rumah.

Kemendikbud juga meluncurkan ICE Institute agar kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) melalui e-learning dapat diakses mahasiswa dari Sabang sampai Merauke.

Pencapaian yang belum optimal

Sudah penjadi pengetahuan umum, bahwa pendidikan Indonesia berkutat dengan beberapa masalah pokok klasik seperti jumlah guru berkualitas yang sedikit, sarana dan prasarana yang kurang memadai, bahan pembelajaran yang minim, mutu pendidikan yang rendah, kurangnya keberpihakan kepada kaum minoritas difabel, dan tingginya biaya sekolah/kuliah.

Terkait enam persoalan pokok tersebut tampak bahwa pencapaian Kemendikbud sebagaimana dikemukakan di atas belum cukup optimal.

Contoh, di bidang SDM masih ada 1, 5 juta guru honorer yang memperoleh gaji jauh di bawah UMR.

Pada level pendidikan dasar dan menengah Kemendikbud mengklaim telah meningkatkan kualitas sekitar 50 ribu orang (19.624 guru penggerak, menyertifikasi 10.000 guru dan tenaga kependidikan, merekrut guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di 548 pemerintah daerah, memperkenalkan sistem penjaminan mutu sekolah penggerak kepada 20.438 orang guru).

Jika Kemendikbud hanya mampu meningkatkan kualitas SDM sekolah sebanyak 50 ribu per tahun maka perlu waktu 60 puluh tahun untuk membuat tiga jutaan guru yang dibutuhkan di sekolah menjadi berkualitas.

Sementara di tingkat perguruan tinggi, Kemendikbud hanya mampu meningkatkan SDM atas 5.225 orang di 994 satuan pendidikan.

Padahal, menurut data Dikti 2018, Indonesia memiliki 242.440 dosen, 34.933 di antaranya masih berkualifikasi S-1. Artinya, perlu waktu 7 tahun untuk meningkatkan kualitfikasi dosen S1.

Langkah digitalisasi memang mutlak perlu di era digital ini. Namun, yang juga mutlak dilakukan adalah perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang rusak.

Data Kemendikbud terakhir menyebutkan, ruang kelas yang rusak di sekolah negeri seluruh Indonesia bertambah 26 persen atau 250.000 unit dalam satu tahun terakhir.

Bahan pembelajaran berbasis teknologi digital juga sangat dibutuhkan saat ini. Namun, bahan pembelajaran berupa buku tetap wajib disediakan karena sebagian besar peserta didik belum memiliki perangkat teknologi digital dan belum punya akses ke jaringan internet.

Hingga akhir 2020, siswa SD yang mengakses internet baru 35,97 persen, SMP/sederajat menjadi 73,4 persen, SMA/sederajat 91,01 persen, dan perguruan tinggi 95,3 persen.

Soal biaya sekolah dan kuliah, Kemendikbud memang telah menyediakan Dana Bos, dan KIP. Namun masalahnya tidak hanya pada minimnya kemampuan membayar para siswa dari keluarga miskin, tapi pada penetapan biaya kuliah yang sangat tinggi oleh pihak sekolah dan kampus perguruan tinggi.

Belajar dari negara yang sukses menata pendidikan

Transformasi pendidikan Indonesia memang merupakan suatu yang sangat penting dan mendesak untuk meningkatkan daya saing SDM Indonesia di tingkat global.

Upaya tersebut harus bertitik tolak dari masalah-masalah pokok yang dihadapi Indonesia. Selain itu perlu ada landasan hukum.

Jadi, upaya transformasi pendidikan melalui revisi UU Sidiknas No 20 Tahun 2003 dan peta jalan pendidikan yang jelas dan terarah perlu menjadi prioritas.

Transformasi pendidikan juga mengandaikan kolaborasi yang massif dengan Lembaga/kementerian terkait supaya bisa berjalan simultan dan selaras.

Sejatinya, kebutuhan akan UU Sidiknas yang baru dan peta jalan pendidikan harus selaras dengan kebijakan Merdeka Belajar.

Gagasan pokoknya adalah memberikan kemerdekaan bagi sekolah/ kampus untuk mencari jalan terbaik agar peserta didik bisa mengembangkan potensinya melalui pembelajaran yang fleksibel sehingga mampu mengembangkan kepribadian berkarakter unggul dengan hard skills, soft skills, life skills,dan network yang mumpuni.

Artinya pendidikan tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tapi juga pengembangkan nilai-nilai kemanusian universal kejujuran, keadilan, inklusif dan nilai-nilai agama dan kearifan budaya lokal.

Untuk menyusun peta jalan pendidikan yang baik, Indonesia perlu belajar dari beberapa negara yang dikenal sukses menata pendidikannya seperti Finlandia, Estonia, Jerman, Singapura dan Taiwan.

Pada tahap awal kita perlu, misalnya, menetapkan secara tegas apakah kita mau menerapkan sistem pendidikan secara terpusat (sentralisasi) seperti Singapura dan Taiwan, atau sebaliknya sistem terdesentralisasi dengan tanggung jawab utama pada pemerintah daerah seperti Estonia, Finlandia, dan Jerman?

Meskipun berbeda sistem, negara-negara bekinerja tinggi dalam sistem pendidikan tersebut memiliki beberapa faktor umum yang sama.

Contoh, mereka juga sangat fokus pada investasi untuk peningkatan kualitas guru secara massif.

Pengambil kebijakanan negara itu percaya, ketika guru sangat terampil maka sekolah dapat diberikan otonomi yang lebih besar untuk memodifikasi kurikulum dan mengembangkan model pembelajaran yang inovatif (David Greatbatch - Sue Tate, 2019; Linda Darling-Hammond, 2010).

Mereka juga membebaskan para guru dari kegiatan adminstratif dan memberi para guru upah yang layak dengan kenaikan berbasis kinerja.

Otoritas pendidikan di negara-negara tersebu juga fokus pada penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang baik sambil melengkapinya dengan teknololgi digital yang terus dibarui,

Lalu, dalam hal pendanaan, mereka tak hanya mengandalkan APBN, tetapi melakukan kombinasi pendanaan yang berasal dari anggaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota serta dukungan perusahaan atau organisasi amal.

Strategi serupa ternyata telah diterapkan di tingkat negara bagian atau provinsi di Australia, Selandia Baru, dan Kanada dengan skor tinggi. Provinsi seperti Hong Kong dan Makau di Cina juga melakukan hal yang sama dengan hasil positif.

Fokus dan komprehensif

Perlu di catat, survei Programme for International Student Assessment (PSA) 2018 menyebutkan bahwa sektor pendidikan masih rapuh karena rendahnya jumlah siswa berprestasi, persentase siswa mengulang kelas yang masih tinggi (16 persen), dan masih tingginya ketidakhadiran siswa di kelas.

Kemendikbud tampaknya belum menaruh perhatian khusus atas tiga masalah tersebut. Padahal, mengacu pada survei PISA, Presiden Jokowi sendiri menargetkan jumlah siswa berprestasi rendah dapat ditekan hingga kisaran 15-20 persen pada 2030.

Ia pun mendorong Kemendikbud untuk melakukan perbaikan menyeluruh baik pada aspek regulasi, anggaran infrastruktur, manajemen sekolah, kualitas guru, hingga beban administratif guru.

Nah, apabila Kemendikbud fokus dan berada pada frekuensi yang sama dengan Presiden Jokowi, maka niscaya transformasi pendidikan akan berbuah lebih optimal lagi.

Sumber : Kompas

Versi cetak
#pendidikan

Artikel Terkait



Artikel Terkini



Event Kalender


« Jul 2025 »
Minggu
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu
29 30 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 31 1 2
3 4 5 6 7 8 9


Statistik Website


Visitors :906365 Visitor
Hits :1811509 hits
Month :100486 Users
Today : 692 Users
Online : 33 Users